Orang Eropa Zaman Dulu Kerap Menggunakan Obat Berbahan Mayat Manusia
BERITA UNIK

Orang Eropa Zaman Dulu Kerap Menggunakan Obat Berbahan Mayat Manusia

Pelangi99 Lounge – Orang Eropa Zaman Dulu Kerap Menggunakan Obat Berbahan Mayat Manusia, Kanibalisme adalah praktik memakan bagian tubuh dari makhluk sesama jenisnya. Jika kita mendengar kanibalisme pada manusia, maka umumnya kita akan langsung membayangkan praktik yang di lakukan oleh suku-suku terbelakang dan gila perang. Namun tahukah anda kalau kanibalisme sempat banyak di gunakan sebagai metode penyembuhan penyakit oleh orang-orang Eropa hingga akhir abad ke-19? Pelangi99 Online

Richard Baxter adalah seorang pria asal Inggris yang hidup pada abad ke-17. Suatu hari, pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai penulis tersebut menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh. Setiap kali ia batuk, batuknya bakal mengeluarkan darah. Rasa sakit kerap terasa dari bagian perut dan persendiannya. Ia juga kerap menderita sakit kepala yang mengganggu pekerjaannya.

Obat Berbahan Mayat Manusia

Baxter sudah mencoba semua obat yang bisa ia dapatkan, namun tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Merasa tidak punya pilihan lagi, Baxter pun kemudian mencoba meminum obat yang terbuat dari organ tubuh manusia. Kendati terlihat mengerikan, ternyata Baxter tidak sendirian. Meminum obat yang di buat dari bagian-bagian tubuh mayat manusia merupakan praktik yang cukup lumrah di lakukan di Eropa pada Abad Pertengahan.

Praktik meminum obat yang terbuat dari bagian tubuh manusia di ketahui sudah di kenal sejak di Eropa pada abad pertama sesudah Masehi. Sahabat anehdidunia.com ketika seseorang terkena penyakit tertentu, maka dokter kadang-kadang akan menyarankan orang tersebut agar meminum darah dari gladiator yang baru meninggal.

Meskipun sudah di kenal dari masa Romawi Kuno, baru sejak abad ke-12, praktik ini mulai berlangsung secara luas di seantero Eropa. Seiring perkembangan zaman dan kian majunya ilmu pengetahuan, praktik menggunakan bagian tubuh manusia sebagai bahan obat secara berangsur-angsur di tinggalkan pada akhir abad ke-19.

Dari Manusia untuk Manusia

Paracelsus

Keyakinan itu sendiri pertama kali di cetuskan oleh Paracelsus, seorang dokter yang pernah hidup di Swiss pada abad ke-16. Mereka beramai-ramai membuat obat dengan organ-organ tubuh manusia sebagai bahan bakunya.

Dalam perkembangannya, bukan hanya golongan rakyat biasa yang tertarik akan metode pengobatan ini. Kalangan raja bangsawan pun juga menunjukkan minatnya. Sahabat anehdidunia.com Raja Charles II yang bertahta di Inggris pada tahun 1660–1685 adalah salah satu di antaranya. Ia di ketahui sangat gemar meminum ramuan obat yang terbuat dari tengkorak manusia. Saking populernya, ramuan tersebut sampai di kenal dengan nama “Tetesan Raja” (King’s Drops).

Metode pembuatan ramuan Tetesan Raja sendiri tergolong sederhana. Mula-mula, pembuat ramuan akan menyiapkan tengkorak manusian dan kemudian menumbuknya hingga halus seperti bubuk. Sesudah itu, bubuk tulang tadi di campurkan dengan alkohol dan sudah siap untuk di minum.

Saat Charles sekarat di ranjangnya, dokter di ketahui turut menyiapkan Tetesan Raja beserta ramuan obat lainnya untuk menyelamatkan nyawa raja. Namun usaha tersebut berakhir sia-sia karena Charles pada akhirnya harus meninggal dunia.

Meskipun begitu, popularitas ramuan obat Tetesan Raja tetap tidak surut. Hingga abad ke-18, ramuan ini tetap banyak di buat untuk mengobati penyakit gangguan syaraf dan disentri (sejenis penyakit mirip diare yang di sertai dengan darah). Ada juga yang mencampurkan Tetesan Raja dengan cokelat serta dedaunan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit seperti epilepsi, pendarahan, hingga mencegah kematian.

Di buat dari Mumi

Obat Dibuat dari Mumi

Orang Eropa Zaman Dulu, Tetesan Raja hanyalah satu dari sekian banyak obat berbahan baku bagian tubuh manusia yang pernah di buat di Eropa. Kendati obat-obat tersebut semuanya menggunakan bagian tubuh mayat sebagai bahan bakunya, tidak sembarang mayat bisa di gunakan sebagai bahan baku. Pada awalnya, jasad mumi yang di jarah dan di impor dari Mesir menjadi bahan baku pembuatan obat.

Namun karena mumi Mesir sendiri jumlahnya terbatas, mereka pun beralih menggunakan mayat dari daerahnya masing-masing. Karena membedah tubuh mayat di anggap sebagai bentuk penghinaan terhadap mayat yang bersangkutan, hanya mayat dari tahanan korban hukuman mati dan orang-orang miskin yang organ-organnya di ambil supaya bisa di olah menjadi obat.

Darah yang di ambil dari korban eksekusi tepat sesudah kematiannya di yakini mengandung kekuatan penyembuhan yang besar. Air yang berasal dari peti mati konon bisa di gunakan untuk menyembuhkan bisul. Sementara air yang di gunakan untuk memandikan mayat konon bisa menjaga kesehatan jika sering-sering di konsumsi.

Sesudah itu, potongan mayat tersebut harus di rendam dalam cairan anggur selama beberapa hari, di jemur selama 10 jam, di rendam lagi ke dalam ramuan anggur, dan kemudian di jemur lagi hingga mengering. Schroeder menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode penyiapan macam ini, potongan mayat tersebut tidak akan terasa amis saat di simpan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *