PELANGI99 LOUNGE – Main Media Sosial Picu Depresi. Sebagai salah satu bentuk komunikasi, media sosial memiliki plus dan minus. Sementara bisa mendekatkan yang jauh, media sosial justru bisa menjauhkan yang dekat. Main Media Sosial Picu Depresi
Dari bisa memicu rasa iri hingga perundungan, kesehatan mental kita bisa terkena dampak negatifnya. Tidak hanya yang memang memiliki kondisi mental penyerta, ternyata efek media sosial berlaku untuk semua orang.
1. Libatkan hampir ribuan orang
Berbagai studi longitudinal menunjukkan media sosial bisa menjadi pemicu depresi. Namun, minim studi yang menguji apakah hubungan media sosial dan kondisi mental tersebut berlaku pada orang-orang dengan ragam kepribadian.
Dimuat dalam Journal of Affective Disorders Reports pada Juli 2022, para peneliti Amerika Serikat (AS) mencoba meneliti hal tersebut. Mereka merekrut 978 partisipan dewasa berusia 18–30 tahun yang memainkan 10 platform media sosial terkemuka dunia, yaitu:
- Facebook.
- YouTube.
- Instagram.
- Snapchat.
- WhatsApp.
- Twitter.
- Pinterest.
- Reddit.
- LinkedIn.
- Tumblr.
Para partisipan melaporkan sendiri berapa lama mereka menghabiskan waktu di media sosial tersebut, dan mereka menggunakan Patient Health Questionnaire untuk menganalisis depresi pada awal penelitian dan masa tindak lanjut. Selain itu, para peneliti juga menggunakan tes kepribadian Five Inventory yang menguji:
- Neuroticism (tahan terhadap tekanan/stres).
- Agreeableness (mudah setuju atau kooperatif).
- Openness (terbuka terhadap hal-hal baru).
- Conscientiousness (berhati-hati).
- Extraversion (mudah bergaul).
2. Hasil: Media sosial picu depresi dalam segala karakteristik kepribadian
Dengan data-data tersebut, para peneliti menguji hubungan antara karakteristik kepribadian, penggunaan media sosial, dan perkembangan depresi. Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan. Apa hasilnya?
Mereka dengan agreeableness hingga 49 persen memiliki risiko depresi rendah (5,1 persen) dibanding mereka yang memiliki agreeableness rendah. Sebaliknya, mereka yang memiliki tingkat neuroticism tinggi 146 persen lebih rentan mengembangkan depresi.
“Dalam tiap karakteristik kepribadian, peningkatan penggunaan media sosial secara signifikan berhubungan dengan depresi,” tulis para peneliti.
Meski begitu, pada akhir penelitian, para peneliti mengatakan bahwa data ini diambil dari kelompok dewasa muda. Jadi, hasil penelitian ini bisa berbeda pada kelompok usia lainnya. Selain itu, data penggunaan media sosial dilaporkan secara mandiri, sehingga ada risiko bias yang memengaruhi hasil penelitian.
3. Mengapa media sosial bisa memicu depresi?
Dilansir Medical News Today, berbagai riset menunjukkan bahwa gangguan mental (dalam kasus ini, depresi) dimulai sejak usia dewasa muda. Akan tetapi, sebuah riset di AS dalam JAMA Network Open pada November 2021 menemukan bahwa kelompok usia dewasa muda dengan gejala depresi ringan bisa diperparah akibat media sosial.
Salah satu peneliti dari University of Arkansas, Renae A. Merrill, mengatakan bahwa kecanduan akan satu hal bisa meningkatkan risiko gangguan kesehatan. Hal ini pun berlaku terhadap depresi akibat media sosial yang juga bisa dikategorikan sebagai gangguan adiktif.
“Ini karena efek saraf yang serupa di bagian penghargaan dalam otak yang berkontribusi terhadap perilaku reaktif,” ujar Merrill.
Selain efek saraf tersebut, Merrill mengatakan bahwa penguatan aspek positif-negatif di media sosial (seperti notifikasi, fitur auto-play, atau interaksi antara pengguna media sosial) justru membuat para pengguna terpaku.
4. Mengurangi media sosial bukan hal mudah
Karena penggunaan media sosial berhubungan erat dengan depresi terlepas dari kepribadiannya, para peneliti mencatat bahwa seharusnya para praktisi kesehatan mental menyarankan pengurangan penggunaan media sosial dalam seluruh tipe kepribadian. Masalahnya, ternyata, tidak semudah itu.
Dalam siniarnya pada April 2022 silam, asisten profesor psikologi di Harvard Medical School, Dr. Lisa W. Coyne, mengungkapkan bahwa membatasi media sosial bukan perkara mudah. Ini karena pada dasarnya, media sosial tercipta untuk “menyita perhatian” dan membentuk perilaku agar tetap memakai media sosial.
“Tak ada cara mudah untuk mengurangi penggunaan media sosial karena ini melibatkan kerelaan untuk merasa tidak nyaman, dan kerelaan untuk meniadakan [media sosial],” ujar Dr. Coyne.
5. Tenggang rasa dan komunikasi efektif adalah kunci media sosial kondusif
Merrill dan timnya berharap bahwa penelitian ini bisa menjadi pertimbangan intervensi untuk mengurangi risiko depresi di kalangan dewasa muda. Menurutnya, mengerti hubungan neuroticism dan agreeableness terhadap risiko depresi bisa membantu praktisi kesehatan mental menyesuaikan intervensi agar lebih efektif.
Merrill mengatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan koneksi sosial dan pengertian mendasar. Jadi, media sosial bisa ditingkatkan dengan menyadari emosi diri sendiri dan koneksi kita dengan pengguna media sosial lainnya. Dengan komunikasi efektif dan tenggang rasa, media sosial bisa jadi tempat kondusif tanpa memicu depresi.