DEWASA18++ – Siang itu, ponselku berbunyi, dan suara merdu dari seberang sana memanggil.
“Di, kamu ke rumahku duluan deh sana, saya masih meeting. Dari pada kamu kena macet di jalan, mendingan jalan sekarang gih sana.” Momen yang Tak Terduga dengan Kakak Pacarku
“Oke deh, saya menuju rumah kamu sekarang. Kamu meeting sampai jam berapa?”
“Yah, sore sudah pulang deh, tunggu aja di rumah.”
Meluncurlah aku dengan motor Honda ke sebuah rumah di salah satu kompleks di Jakarta.
Momen yang Tak
Vina memang kariernya sedang naik daun, dan dia banyak melakukan meeting akhir-akhir ini. aku sih sudah punya posisi lumayan di kantor. Hanya saja, kemacetan di kota ini begitu parah, jadi lebih baik beli motor saja dari pada beli mobil. Vina pun tak keberatan mengarungi pelosok-pelosok kota dengan motor bersamaku.
Kebetulan, pekerjaanku di sebuah biro iklan membuat aku bisa pulang di tengah hari, tapi bisa juga sampai menginap di kantor jika ada proyek yang harus digarap habis-habisan. Vina, pacarku, mendapat fasilitas antar jemput dari kantornya. Jadi, aku bisa tenang saja pergi ke rumahnya tanpa perlu menjemputnya terlebih dulu.
Sesampai di rumahnya, pagar rumah masih tertutup walau tidak terkunci. Aku mengetok pagar, dan keluarlah Marta, kakak Vina, untuk membuka pintu.
“Loh, enggak kerja?” tanyaku.
“Nggak, aku izin dari kantor mau ngurus paspor,” jawabnya sambil membuka pintu pagarnya yang berbentuk rolling door lebar-lebar agar motorku masuk ke dalam.
“Nyokap ke mana?” tanyaku lagi.
“Oh, dia lagi ke rumah temannya tuh, ngurusin arisan,” kata Marta, “Kamu mau duduk di mana Dodi?
Di dalam nonton tv juga boleh, atau kalau mau di teras ya enggak apa juga.
Bentar yah, saya ambilin minum.”
Setelah motor parkir di dalam pekarangan rumah, kututup pagar rumahnya. Aku memang akrab dengan kakak Vina ini, umurnya hanya sekitar dua tahun dari umurku. Yah, aku menunggu di teras sajalah, canggung juga rasanya duduk nonton tv bersama Marta, apalagi dia sedang pakai celana pendek dan kaos oblong.
Setelah beberapa lama menunggu Vina di teras rumah, aku celingukan juga tak tahu mau bikin apa. Iseng, aku melongok ke ruang tamu, hendak melihat acara televisi. Wah, ternyata mataku malah terpana pada p*ha yang putih mulus dengan kaki menjulur ke depan. Kaki Marta ternyata sangat mulus, kulitnya putih menguning.
Marta memang sedang menonton tv di lantai dengan kaki berjelonjor ke depan. Kadang dia duduk bersila. Baju kaosnya yang tipis khas kaos rumah menampakkan tali-tali ** yang bisa kutebak berwarna putih. Aku hanya berani sekali-kali mengintip dari pintu yang membatasi teras depan dengan ruang tamu, setelah itu barulah ruang nonton tv.
Kalau aku melongokkan kepalaku semua, yah langsung terlihatlah wajahku. Tapi rasanya ada keinginan untuk melihat dari dekat p*ha itu, biar hanya sepintas. Aku berdiri.
“Ta, ada koran enggak yah,” kataku sambil berdiri memasuki ruang tamu.
“Lihat aja di bawah meja,” katanya sambil lalu.
Saat mencari-cari koran itulah kugunakan waktu untuk melihat pha dan postur tubuhnya dari dekat. Ah, putih mulus semua. Buah dda yang pas dengan tubuhnya. Tingginya sekitar 160 cm dengan tubuh langsing terawat, dan buah d*danya kukuh melekat di tubuh dengan pasnya. Momen yang Tak
“Aku ingin dda itu,” kataku membatin. Aku membayangkan Marta dalam keadaan telnj*ng. Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah gravitasi.
“Heh! Kok kamu ngeliatin saya kayak gitu?! Saya bilangin Vina lho!,” Marta menghardik.
Dan aku hanya terbengong-bengong mendengar hardikannya. Aku tak sanggup berucap walau hanya untuk membantah. Bibirku membeku, malu, takut Marta akan mengatakan ini semua ke Vina.
“Apa kamu melotot begitu, mau ngancem?! Hah!”
“Astaga, Marta, kamu.. kamu salah sangka,” kataku tergagap. Jawabanku yang penuh kegamangan itu malah membuat Marta makin naik pitam.
“Saya bilangin kamu ke Vina, pasti saya bilangin!” katanya setengah berteriak.
Tiba-tiba saja Marta berubah menjadi sangar. Kekalemannya seperti hilang dan barangkali dia merasa harga dirinya dilchkan. Perasaan yang wajar kupikir-pikir.
“Marta, maaf, maaf. Benar-benar enggak sengaja saya. saya enggak bermaksud apa-apa,” aku sedikit memohon.
“Ta, tolong dong, jangan bilang Vina, kan cuma ngeliatin doang, itu juga enggak sengaja. Pas saya lagi mau ngambil koran di bawah meja, baru saya liat elu,” kataku mengiba sambil mendekatinya.
Marta malah tambah marah bercampur panik saat aku mendekatinya.
“Kamu ngapain nyamperin saya?! Mau ngancem? Keluar kamu!,” katanya garang.
Situasi yang mencekam ini rupanya membuatku secara tidak sengaja mendekatinya ke ruang tamu, dan itu malah membuatnya panik.
“Duh, Ta, maaf banget nih. Saya enggak ada maksud apa-apa, beneran,” kataku.
Namun, situasi telah berubah, Marta malah menganggapku sedang mengancamnya. Ia mendorong d*daku dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan, aku tak ingin terjatuh ke belakang, kuraih tangannya yang masih tergapai saat mendorongku.
Raihan tangan kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan tangan kirinya. Tubuhnya terbawa ke arahku tapi tak sampai terjatuh, aku pun berhasil menjaga keseimbangan. Namun, keadaan makin runyam.
“Eh! kamu kok malah tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu? Lepasin enggak!!,” kata Marta.
Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan kirinya. Mungkin aku belum sempat menyadari situasinya. Merasa terancam, Marta malah sekuat tenaga melayangkan tangan kanannya ke arah mukaku, hendak menampar. Aku lebih cekatan.
Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya sudah kupegang tanpa sengaja. Kudorong dia dengan tubuhku ke arah sofa di belakangnya, maksudku hanya berusaha untuk menenangkan dia agar tak mengasariku lagi. Tak sengaja, aku justru menindih tubuh halus itu.
Marta terduduk di sofa, sementara aku terjerembab di atasnya. Untung saja lututku masih mampu menahan pinggulku, namun tanganku tak bisa menahan bagian atas tubuhku karena masih mencengkeram dan menekan kedua tangannya ke sofa. Jadilah aku menindihnya dengan mukaku menempel di pipinya. Momen yang Tak
Tercum aroma wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan, sepersekian detik bbrku mengcup pipinya dengan lembut.
Tak ayal, sepersekian detik itu pula Marta meronta-ronta. Marta berteriak, “Lepasin! Lepasin!” dengan paraunya. Waduh, runyam banget kalau terdengar tetangga.
Yang aku lakukan hanya refleks menutup mulutnya dengan tangan kananku. Marta berusaha naik, namun tak bisa. Yang terdengar hanya, “Hmmm!” saja. Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku justru bergerak l*ar, ingin menggapai wajahku. Momen yang Tak
Hah! Tak terpikir, posisiku ini benar-benar seperti berniat memprksa Marta. Dan, Marta sepertinya pantas untuk diprksa. Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di sofa, aku di atasnya dengan posisi mendudukinya namun berhadapan.
Kakinya hanya bisa meronta namun tak akan bisa mengusir tubuhku dari pinggangnya yang telah kududuki. Tangan kanannya masih dalam kondisi tercengkeram dan ditekan ke sofa, tangan kirinya hanya mampu menggapai-gapai wajahku tanpa bisa mengenainya, mulutnya tersekap.
Tubuh yang putih itu dengan lehernya yang jenjang dan sedikit muncul urat-urat karena usaha Marta untuk naik, benar-benar membuatku dilanda nfsu tak kepalang. Aku berpikir bagaimana memprk*sanya tanpa harus melakukan berbagai kekerasan seperti memukul atau merobek-robek bajunya.
Dasar otak keparat, diserang n*fsu, dua tiga detik kemudian aku mendapatkan caranya. Tanpa diduga Marta, secepat kilat kulepas cengkeraman tanganku dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Marta bereaksi, kedua tanganku sudah mencengkeram erat lingkaran celana pendeknya dari sisi kiri dan kanan, tubuhku meloncat mundur ke belakang.
Kaki Marta yang meronta-ronta terus ternyata mempermudah usahaku, kutarik sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya celana pendek itu beserta celna dlam pinknya. Karena kakinya meronta terus, tak sengaja dia telah mengangkat pant*tnya saat aku meloncat mundur. Momen yang Tak
Celana pendek dan celna dlam pink itu pun lolos dengan mudahnya sampai melewat dengkul Marta.
Astaga! Berhasil! Marta jadi setengah bgil. Satu dua detik Marta pun sempat terkejut dan terdiam melihat situasi ini. Kugunakan kelengahan itu untuk meloloskan sekalian celana pendek dan celna d*lamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh. Momen yang Tak
Marta sadar, dia hendak naik dan meronta lagi, namun aku telah siap. Kali ini kubekap lagi mulutnya, dan kususupkan tubuhku di antara kakinya. Posisi kaki Marta jadi menjepit tubuhku, karena dia sudah tak bercelna, aku bisa melihat vginanya dengan kelntt yang cukup jelas.
Jmbtnya hanya menutupi bagian atas vgina. Marta ternyata rajin merawat alat gentalnya. Pekikan Marta berhasil kutahan. Sambil kutekan kepalanya di sandaran sofa, aku berbisik,
“Marta, kamu sudah kayak gini, kalau kamu teriak-teriak dan orang-orang dateng, percaya enggak orang-orang kalau kamu lagi saya prksa?”
Marta tiba-tiba melemas. Dia menyadari keadaan yang saat ini berbalik tak menguntungkan buatnya. Kemudian dia hanya menangis terisak. Kubuka bekapanku di mulutnya, Marta cuma berujar sambil mengisak,
“Dodi, please… Jangan diapa-apain saya. Ampun, Di. saya enggak akan bilang Vina. Beneran.”
Namun, keadaan sudah kepalang basah, syhwtku pun sudah di ujung tanduk rasanya. Aku menjawabnya dengan berusaha mencum bbrnya, namun dia memalingkan mukanya. Tangan kananku langsung saja menelusup ke selangkngannya. Marta tak bisa mengelak.
Ketika tanganku menyentuh halus permukaan vginanya, saat itulah titik balik segalanya. Marta seperti terhipnotis, tak lagi bergerak, hanya menegang kaku, kemudian mendesis halus tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendsah.
Seperti mendapat angin, aku permainkan jari tengah dan telunjukku di v*ginanya.
Aku permainkan kelnttnya dengan ujung-ujung jari tengahku. Marta berusaha berontak, namun setiap jariku bergerak dia mendsah. Desahannya makin sulit ditutupi saat jari tengahku masuk untuk pertama kali ke dalam vginanya. Kukckkan perlahan vginanya dengan jari tengahku, sambil kucoba untuk mencmbu lehernya. Momen yang Tak
“Jangan Dod,” pintanya, namun dia tetap mendsah, lalu memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit, membuatku leluasa mencmbi lehernya. Dia tak meronta lagi, tangannya hanya terkulai lemas. Sambil kukck vginanya dan mencmbi lehernya, aku membuka resleting celanaku.
“Adik”-ku ini memang sudah mengang sempurna sedari tadi, namun tak sempat kuperlakukan dengan selayaknya. Karena tubuhku telah berada di antara kakinya, mudah bagiku untuk mengarahkan pnisku ke v*ginanya. Marta sebetulnya masih dalam pergulatan batin.
Dia tak bisa mengelak terjangan-terjangan nfsunya saat vginanya dipermainkan, namun ia juga tak ingin kehilangan harga diri. Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun juga mendsah-dsah tak karuan. Aku bisa membaca situasi ini karena dia tetap berusaha memberontak, namun v*ginanya malah makin basah.
Ini tanda dia tak mampu mengalahkan rangsngan. Pensku mengarah ke vginanya yang telah becek, saat kepala pnis bersentuhan dengan vgina, Marta masih sempat berusaha berkelit. Namun, itu semua sia-sia karena tanganku langsung memegangi pinggulnya. Dan, kepala pnisku pun masuk perlahan. V*gina Marta seperti berkontraksi.
Marta tersadar, “Jangan…” teriaknya atau terdengar seperti rinthan. Rasa hangat langsung menyusupi kepala pnisku. Kutekan sedikit lebih keras, Marta sedikit menjerit, setengah pnisku telah masuk. Dan satu sentakan berikutnya, seluruh pnisku telah ada di dalam v*ginanya.
Marta hanya memejamkan mata dan menengadahkan muka saja. Ia sedang mengalami kenikmatan tiada tara sekaligus perlawanan batin tak berujung. Kugoyangkan perlahan pinggulku, pnisku keluar masuk dengan lancarnya. Terasa vgina Marta mengencang beberapa saat lalu mengendur lagi.
Tanganku mulai bergerilya ke arah buah d*danya. Marta masih mengenakan kaos rumah. Tak apa, toh tanganku bisa menyusup ke dalam kaosnya dan menyelinap di balik ** dan mendapati onggokan daging yang begitu kenyal dengan kulit yang terasa begitu halus.
Paydara Marta begitu pas di tanganku, tidak terlalu besar tapi tidak juga bisa dibilang kecil. Kurmas perlahan, seirama dengan genjtan pnisku di v*ginanya. Marta hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, tak mampu melakukan perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai mengikuti goyangan pinggulku.
Aku buka kaos Marta, kemudian *-nya, Marta menurut. Pemandangan setelah itu begitu indah. Kulit Marta putih menguning langsat dengan paydara yang kencang dan lingkaran di sekitar pentlnya berwarna merah jambu Pentl itu sendiri berwarna merah kecokelatan.
Tak menunggu lama, kubuka kemejaku. Aktivitas ini kulakukan sambil tetap menggoyang lembut pinggulku, membiarkan pnisku merasai seluruh relung vgina Marta. Sambil aku bergoyang, aku menglum pentl di pay*daranya dengan lembut. Momen yang Tak
Kumainkan pentl paydara sebelah kanannya dengan ldahku, namun seluruh permukaan bbrku membentuk huruf O dan melekat di paydaranya. Ini semua membuat Marta mendsah lepas, tak tertahan lagi. Aku mulai mengencangkan goyanganku. Marta mulai makin sering mengang, dan mengeluarkan rnthan, “Ah… ah…”
Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua tangan Marta yang sedang mencengkeram jok kursi malah menjambak kepalaku.”Aaahhh,” leng*han panjang dan dalam keluar dari mulut mungil Marta. Ia sampai pada puncaknya. Lalu tangan-tangan yang menjambak rambutku itu pun terkulai lemas di pundakku.
Aku makin intens menggoyang pinggulku. Kurasakan pnisku berdenyut makin keras dan sering. Bibir Marta yang tak bisa menutup karena menahan kenikmatan itu pun klumat, dan tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Marta membalasnya dengan l*matan juga. Momen yang Tak
Kami saling berpgut mesra sambil bergoyang. Tangan kananku tetap berada di paydaranya, mermas-rmas, dan sesekali mempermainkan putngnya. Vgina Marta kali ini cukup terasa mencengkeram pnisku, sementara denyut di pnisku pun semakin hebat.
“Uhhh,” aku mengjang. Satu pelukan erat, dan sentakan keras, pnisku menghujam keras ke dalam vginanya, mengiringi muncrtnya sprmaku ke dalam lang rahmnya. Tepat saat itu juga Marta memelukku erat sekali, mengjang, dan menjerit, “Aahhh”. Kemudian pelukannya melemas.
Dia mengalami ejklasi untuk kedua kalinya, namun kali ini berbarengan dengan ejklasiku. Marta terkulai di sofa, dan aku pun tidur telentang di karpet. Aku telah memprksanya. Marta awalnya tak terima, namun sisi senstif yang membangkitkan libdnya tak sengaja kudapatkan, yaitu usapan di vginanya.
Ternyata, dia sudah pernah bercnta dengan kekasihnya terdahulu. Dia hanya tak menyangka, aku-pacar adiknya malah menjadi orang kedua yang menytubhinya. Grrreeekkk. Suara pagar dibuka. Vina datang! Astaga! aku dan Marta masih bgil di ruang tamu, dengan baju dan celana yang terlempar berserakan. Momen yang Tak